Memisahkan Antara Shalat Rawatib Dengan Shalat Wajib Dengan Ucapan
MEMISAHKAN ANTARA SHALAT RAWATIB DENGAN SHALAT WAJIB DENGAN UCAPAN
Oleh
Dr Said bin Ali bin Wahf Al-Qaththani.
Yakni berdasarkan hadits As-Saa’ib bin Yazid bahwa Muawiyyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepadanya : “Apabil engkau telah shalat Jum’at, janganlah engkau sambung dengan shalat lain sebelum engkau berbicara atau keluar dari tempat shalat. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk melakukan itu. Beliau bersabda : “Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum berbicara atau keluar” [1]
Sabda itu tidaklah berlaku khusus bagi shalat Jum’at, karena perawinya berupaya menunjukkan kekhususan hukum itu untuk shalat jama’ah dengan hadits yang bersifat umum mencakup Jum’at dan yang lainnya. Ada yang berpendapat, bahwa hikmahnya adalah terjadi keserupaan antara shalat wajib dengan sunnah, sedang telah diriwayatkan bahwa itu merupakan sebab kebinasaan orang-orang terdahulu [2] Diriwayatkan dari salah seorang sahabat Nabi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Ashar, tiba-tiba bangkitlah seorang lelaki hendak shalat lagi. Umar melihatnya, dan langsung berkata :
اجْلِسْ فَإِنَّمَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِصَلاَتِهِمْ فَصْلٌ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم
“Duduklah. Sesunguhnya Ahli Kitab binasa karena mereka menyambungkan satu shalat dengan shalat yang lain”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh baik apa yang diucapkan Al-Khaththab” [3]
Penulis juga pernah mendengar Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menyatakan tentang hikmah larangan tersebut : “Karena dengan menyambungnya dengan shalat lain, akan mengesankan seolah-olah shalat itu mengikuti shalat yang pertama, dan (larangan menyambung) ini, mencakup shalat Jum’at dan yang lainnya. Namun bila sudah dipisahkan dengan ucapan, atau dengan keluar dari tempat shalat tersebut, atau dengan mengucapkan istighfar, ataupun dzikir yang lain, dengan sendirinya akan terjadi keterpisahan [4]
Ash-Shan’ani rahimahullah mengungkapkan : “Para ulama telah menyatakan tentang dianjurkannya bagi seseorang untuk berpindah dari tempat melakukan ibadah wajib ke tempat lain untuk melakukan shalat sunnah, bahkan yang lebih utama lagi bila ia langsung pindah ke rumahnya, karena melaksanakan ibadah sunnah di rumah itu lebih baik, atau paling tidak ke tempat lain di lokasi masjid itu sendiri, berarti memperbanyak tempat pelaksanaan shalat” [5]
Telah dikeluarkan oleh Abu Daud dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu.
أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ أَوْ عَنْ يَمِينِهِ أَوْ عَنْ شِمَالِهِ
“Apakah salah seorang di antara kalian tidak mampu untuk sekedar maju, mundur, ke kiri atau ke kanan dalam shalatnya ?” [6] (maksudnya untuk shalat Sunnah, -pent)
Diriwayatkan dengan shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pendapat bahwa pindah tempat itu disyariatkan dalam shalat sunnah dan shalat fardhu. Bila beliau berada di Mekkah lalau shalat Jum’at, terus beliau maju dan shalat dua raka’at, kemudian maju lagi dan shalat empat raka’at. Bila beliau berada di Al-Madinah lalu shalat Jum’at, beliau kemudian pulang dan shalat di rumah dua raka’at, dan tidak shalat di masjid. Ada orang bertanya tentang hal itu. Ibnu Umar menjawab : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan hal yang seperti itu [7]
Saya katakan : Riwayat ini dapat dijadikan sebagai dalil penguat tentang dianjurkannya memperbanyak tempat sujud (shalat), sebagai mana yang dijelaskan oleh Syaikh kami Al-Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah.
[Disalin dari kitab Shalatut Tathawwu’Mafhumun, wa Fadhailun, wa Aqsamun, wa Anwa’un, wa Adabun fi Dhauil Kitabi was Sunnah, edisi Indonesia Kumpulan Shalat Sunnah & Keutamaannya oleh Dr Said bin Ali bin Wahf Al-Qaththani, Penerbit Darul Haq]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim dakam kitab Al-Jumu’ah, bab : Shalat Sesudah Jum’at no. 883
[2]. Lihat Subulussalam III : 182
[3]. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya V:368 Al-Haitsami dalam
Majma’uz Zawaid menyatakan II : 234 :”Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan para perawi Ahmad adalah para perawi Ash-Shalih”.
[4]. Lihat Subuslussalam III : 183
[5]. Sunan Abi Dawud, dalam kitab Ash-Shalah, bab : Orang Menjalankan Shalat Sunnah di Tempat Ia Shalat Wajib, dengan no. 1006. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud I : 188.
[6]. Sunan Abi Dawud, dalam kitab Ash-Shalah, bab : Orang Menjalankan Shalat Sunnah di Tempat Ia Shalat Wajib, dengan no. 1006. Dishahihka oleh Al-Albani dlam Shahih Sunan Abi Daud I : 188
[7]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalat Musafir, bab : Dilarangnya Melakukan Shalat Naafilah Setelah Masuk Iqamah, Baik itu shalat Rawatib seperti sunnah Shubuh dan Zhuhur atau yang lainnya, baik mendapatkan raka’at bersama Imam ataupun tidak, no 710.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/815-memisahkan-antara-shalat-rawatib-dengan-shalat-wajib-dengan-ucapan.html